Jogja River Project #3 Kali (Sungai) Gajahwong – Yogyakarta
Text and Photo by Wisnu Wisdantio
Published as article at www.landscapeindonesia.com (visit for better quality of pictures)
Yogyakarta, 20 Mei 2012,
Menuruni lereng setinggi beberapa meter penuh rerumputan liar dan menembus rapat pepohonan berdiri bagai dinding, keheningan mendominasi dan membungkam keriuhan aktivitas minggu pagi di jalan ring road utara yang hanya terpaut beberapa meter. Berdiri di tengah aliran lembut sungai Gajahwong setinggi mata kaki membuatku tercengang sekaligus gamang. Tak terbayang bila lorong panjang penuh tiang-tiang cahaya matahari yang berhasil menembus rapat dedaunan ini adalah benteng pertahanan terakhir biota alami di Yogyakarta. Gajahwong tidak pernah menghentikan alirannya menyisir sisi timur kota yang di abad ke 15 masih hutan lebat “alas Mentaok”, hingga kini ketika Yogyakarta sudah semakin padat dan jenuh oleh aktivitas penduduknya. Namun, wajah sang sungai tua terlihat semakin renta dan tak lagi segar, tepian aliran sungai tak lagi terlihat karena tertutup onggokan sampah beragam rupa dan tak lagi terhitung jumlah buntalan plastik yang tersangkut di dahan pepohonan disekitarnya.
………………………………………………………………………………………………………..
Jogja River Project #3, seperti di Sungai Code pada tahun 2011 dan Sungai Winongo pada awal tahun 2012, sekelompok muda mudi dari berbagai komunitas lengkap dengan sandal gunung, trashbag dipundak, ransel penuh peralatan, dan berkalung GPS memberi Gajahwong warna berbeda hari ini. Usai berkutat mengambil sampel air untuk mengukur kadar bakteri E. Coli di dekat halaman kantor kecamatan Depok, para pemulung colony dan simpatisan (termasuk saya… :P) mulai menelusuri lorong Gajahwong sejauh 3,5 km hingga jembatan galeri lukis Affandi di jalan Laksda. Adisucipto.
Belum jauh langkah kaki mengaduk lumpur dasar sungai, salah satu spot favorit “pembuangan” sampah -atau lebih tepat disebut target sasaran melempar sampah- telah menyambut para pemulung colony. Miris, semakin jauh ke dalam lorong sungai hingga beberapa ratus meter, gugusan-gugusan kemasan kosong beragam warna terbungkus plastik yang tak kalah variatif semakin mendominasi ruang pandang mata. Sekejab setumpuk pertanyaan memenuhi benak, “kenapa ya, tempat sebagus ini kok malah penuh dengan sampah?” celetuk Khrisna -si bule Imogiri- sambil nyengir gamang, celetukan yang mewakili salah satu pertanyaan dalam benak ini tentu saja hanya bisa kujawab dengan senyum.
Tak hanya si jangkung berdarah campuran internasional namun berbau lokal itu, beberapa pasang mata tampak memandang dengan tatapan mata persis seperti yang kutangkap di mata Khrisna, gamang, geram, prihatin, semua bercampur menjadi satu. “Kami memang hanya mengajak siapa saja yang mau ikut saja, itupun hanya untuk memperkenalkan bagaimana wajah sebenarnya lingkungan di sekitar kita, setelah itu kami kembalikan ke setiap orang tentang apa yang akan dilakukan selanjutnya” ujar mas Agung Geger disela-sela keasyikannya mengoleksi berbagai benda ajaib yang ditemukan dalam trashbag yang semakin menggelembung. Byuur!!! Suara benda besar yang jatuh ke dalam air dibarengi pekik tertahan segera menyita perhatian kami semua, dan dikejauhan tampak putri sudah jatuh terduduk di tengah sungai hingga basah kuyub karena terpeleset. “Whuahahahahahaha !!!…” hampir serempak kami tertawa lepas hingga bergaung sampai jauh. “Wooiii, tolongin doooong!!” teriaknya memelas, “Nggak mauuuuu!!!” jawab kami serempak….. :D
Matahari berada tepat di atas kepala ketika perut yang semula ribut mulai tenang setelah dirayu dengan sekotak snack di salah satu sudut desa Papringan. Penelusuran sungai yang membatasi halaman dua desa yaitu desa Papringan (Rumpun Bambu) di sisi barat dan desa Pringwulung (Jenis bambu hitam) di sisi timur ini kembali berlanjut. Uniknya, Gajahwong seakan beralih rupa. Tumpukan sampah kota bagai toko serba ada mulai jarang ditemukan, berganti dengan pemandangan air yang terlihat semakin keruh dan pipa-pipa yang menyembul menembus tanah. Lumpur hitam menebarkan aroma menyengat di setiap tempat jatuhnya aliran air dari pipa-pipa berdiameter 4 inch secara tegas langsung memberi kami jawaban tanpa perlu bertanya darimana dan air apakah yang selalu mengalir kecil itu…. :P. Namun, segera segudang pertanyaan baru seakan menjamur dalam benak, kok dialirkan ke sungai? Dimana sanitasinya? Nggak ada riol kota kah? Tidak ada sanitasi masal-kah?… etc… etc… etc…
Menjelang jam 2 siang, Ceiba pentandra di depan galeri lukis Affandi telah terlihat di kejauhan bagai menyambut kedatangan kami di pemberhentian terakhir. Sang Randu Alas tua yang sering digunakan masyarakat kota Yogyakarta untuk mengenali musim yang sedang berlangsung itu menjadi peneduh sekaligus penutup jalan-jalan menelusuri sungai Gajahwong. Namun, penelusuran ini tak pernah berakhir… salah satu judul buku Tolstoy semakin sering berdengung dalam benak.
– What then must we do? –
………………………………………………………………………………………………………..
Terima kasih untuk mas Agung Geger, mas TB. Budiarto, mas Joan Prahara yang sudah njawil dan mengajak… :D :D…. dan tentu saja salam kenal buat teman-teman di Livepatch, Urbancult, Ordinary Acts, Pemulung Colony, Bangun Indonesia, Cantigi Indonesia, dan berbagai komunitas lain yang kemarin sudah ikut berperan serta…. Salut buat semangatnya!!!
Related Article at Lifepatch Official Website:
Telusuri berbagai kisah perjalanan lainnya di:
Landscape Indonesia Official Website
You must be logged in to post a comment.