Capturing moment to reach the essence of travelling
(2012)
My photo of horse riders at Semeru National Park selected as the cover picture of “KELIR” monthly e-magazine #1 edition. Moreover, few of my landscape photographs and article with title Debu-debu Perjalanan Si Pejalan (Travel Dust of the traveller) also become part of this digital magazine as well. the article itself talks about how the traveller made a reflection of after all of his journey.
The article that had been published as non-commercial E-Photobook and shared through digital media, social media, and also between memory card since August 2012. It’s still downloadable at free download e-book page on this website.
………………………………………………………………………………..
ULASAN KISAH:
Debu-debu Perjalanan Si Pejalan
Teks dan Foto oleh Wawies Wisnu Wisdantio
Rasa ingin tahu adalah sifat dasar siapapun. Ketika rasa itu membesar, akan berubah layaknya bahan bakar ramah lingkungan pendorong setiap utas otot tubuh untuk selalu menjelajah dan menggelembungkan rak-rak wawasan dengan segudang pengalaman tak ternilai.
Menelusuri temaram jalanan kota lama Jakarta, menikmati rebusan biji-biji kopi sambil berbincang hangat di warung kopi tak seberapa jauh dari pelabuhan Belitung, terhanyut alunan sutra para biksu sambil menahan pedih di mata terpanggang asap wangi dupa doa, atau menikmati senja di teras rumah sederhana berdinding kayu di lereng perbukitan Manokwari hanyalah sedikit fragmen dari tumpukan kisah menapaki jalanan yang terkadang malah lebih “mencandu” daripada destinasi atau ujung perjalanan itu sendiri.
Bagi si pejalan, perjalanan bukan sekedar traveling untuk merengkuh sebanyak mungkin destinasi. Sebentuk pemuas rasa haus akan hal baru ketika satuan waktu dan nominal dana dirasa sebagai dinding pembatas. Perjalanan juga bukan melulu membekukan segalanya dalam frame- frame foto untuk mengurung kenangan, pengalaman dan pengetahuan agar tak hilang termakan waktu. Namun, perjalanan adalah pertemuan dengan budaya dan kehidupan. Tak ada budaya dan kehidupan yang sama persis. Serpih-serpih masa lalu dalam rangkuman kisah sejarah, gurat-gurat alam sebagai tempat hidup, hingga geliat dan cara hidup penghuninya perlahan namun pasti menjadi pembentuk budaya dan kehidupan yang memiliki tutur maupun wajah saling berbeda.
Ketika kaki-kaki si pejalan menapaki tangga bukit Pananjakan untuk menikmati sunrise membelai Bromo, Semeru, Bathok dan beberapa puncak lainnya. Keindahan itu terasa hanyalah bait pendek bagian dari puisi panjang Kal- dera purba dan kehidupan suku Tengger. Puisi kehidupan religius suku Tengger ketika mengagungkan gunung Bromo yang berdiri bagai padma ditengah lautan pasir. Sekaligus lirih menceritakan geliat mereka memeras segala upaya untuk mengelola tanah di tebing-tebing terjal vulkanis yang malah kurang subur karena tingginya intensitas ke-aktif-an Bromo dan Semeru.
Lain halnya ketika si pejalan terbuai pelukan kedahsyatan alam Papua yang dapat disejajarkan dengan Hutan Tropis Amazone dan Hutan Tropis Kongo dalam daftar The Global Tropical Wilderness Areas. Rindang dedaunan hutan tropis me- nyembunyikan sisi lain tak kalah dahsyat. Alam dan penghuninya menjadi jalinan sederhana yang hidup apa adanya dan saling menghidupi. Alam adalah ibu yang menghidupi anak-anaknya bagai nilai-nilai religius nan agung, kental terbuncah di tiap geliat keseharian hingga pekat filosofi tersimpan dibalik kesederhanaan pakaian adat para penghuninya. Terkadang perlu membuang ego pribadi untuk bisa menjadi bagian dari kehidupan setempat. Sekerat gigitan memecah keras buah pinang bergemelutuk di dalam mulut tetap dilakukan. Meski wajah memerah tak biasa diterjang rasa sepat dan pahit nan pekat hingga hadirkan tawa beberapa teman, mengunyah pinang, kapur dan sirih sudah layaknya simbol kepercayaan dan persaudaraan. Tawaran mencicipinya ambil berbincang adalah tanda bila si pejalan tak lagi dianggap sekedar pendatang, menjadikannya bagai menemukan rumah kedua penuh rasa persaudaraan.
Semakin jauh ayunan langkah, si pejalan seakan merasa terperosok dalam kegelapan ketidak tahuan yang semakin pekat dan kelam. Kurikulum singkat dari pemuda tanggung berdarah suku Serui Ambay ketika mengajar- kan salah satu cara sebagian masyarakat Papua membedakan asal sukunya masing-masing melalui mengenali perbedaan dialek bahasa dan melihat perbedaan ciri fisik yang tentu saja tetap sulit dimengerti si pejalan, hanyalah sebagian kecil hal yang membuatnya merasa semakin tercekik rasa haus untuk menjelajahi setiap lekuk indah negeri kelahirannya dan mencecap kearifan lokal setiap suku bangsa penghuninya. Terlebih lagi ketika memandangi hamparan peta negeri kelahirannya yang membentang seluas 1,9 juta km2 dan dihuni 1.128 lebih suku bangsa yang tersebar di 13 ribu pulau, semua terpapar bagai sumber pemuas dahaga yang tak terbatas.
Si pejalan tetap sosok pemuja mimpi yang kebetulan terlahir suka jalan-jalan ketika transportasi, telekomunikasi, dan arus informasi sudah maju pesat. Era yang memungkinkan siapapun menapakkan jejak ke sudut-sudut bumi. Era ketika emisi mesin mekanis mengganas, perlahan mencekik bumi meneriakkan kisah lirih clean energi. Era ketika wajah alam mulai tergerus tumbuhnya hutan beton bagai cendawan di musim penghujan. Bahkan, era ketika perjalanan dan pariwisata seringkali dituding lukai alam akibat tebaran “sisa-sisa” industri perjalanan dan pariwisata yang semakin menumpuk.
“Akankah keindahan tertangkap mata ini akan tetap seperti apa adanya dalam beber- apa tahun mendatang?” sering kali mencuat hadirkan rasa gamang. Meski tak bisa dipungkiri, keinginan hadirnya rasa nyaman dan sebentuk kesenangan tanpa sadar menjadi tuntutan bawaan para pejalan yang perlahan memantik perubahan wajah setiap tempat persinggahan perjalanan.
Pada akhirnya, sikap, cara berperilaku, serta kemauan beradaptasi untuk lebur menjadi bagian dari alam dan budaya setempat adalah pilihan bagi para pejalan. Seperti halnya pilihan untuk memilih cara menempuh perjalanannya masing-masing, menelusuri jalanan gelap menggelandang bak backpacker, menikmati peluk kenyamanan kemasan pariwisata, ataupun menggabungkan keduanya untuk menciptakan sensasi tersendiri pada perjalanan yang dilakukannya.
Bagi si pejalan, perjalanan adalah bentuk pencarian berbagai hal tersurat maupun hanya lirih tersirat hingga menggelembungkan rak-rak memory bernama pengalaman, hingga terkadang mencuatkan sensasi religius di setiap utas jejaring pemahaman dalam benak.
…………………………………………..
KELIR Share and Inspire #1 (Agustus 2012) in Indonesian Edition
Cover Picture by “Wawies” Wisnu Wisdantio
Layout and design by Ngaliman
Contributor (click their name for further information):
– Adam Ghifari Nuskara
– Agung Widi
– Bayu Emde Winata
– Ewaldus ‘Sham’ Ambrosius Tukan
– Joan Prahara Bumi
– Maufiroh Isnainto
– Ngaliman
– Tirta Hadi ‘Frans’ Pranata
– “Wawies” Wisnu Wisdantio
– Zani Noviansyah
KELIR Share and Inspire #1
63 Full Colour Page
PDF format
15.7 Mb File
You must be logged in to post a comment.