Berawal dari sebuah pilihan nekad di bulan November tahun 2014 lalu, meja pujasera di sudut halaman parkir Bandara Adisucipto menjadi tempatku, Widhi, dan Fitria untuk menunggu. Ditemani beberapa gelas es teh, makan pagi yang sangat terlambat, lembaran besar peta, catatan dan beberapa formulir aplikasi visa dan permit.
Waktu masih tersisa lebih dari satu jam di siang yang sangat muda ini, sebelum mesin jet ganda Airbus A320 membawa kami menembus jarak sejauh 1.520 km, menuju ibukota negara Malaysia, Kuala Lumpur.
* * * *
Baru beberapa menit berlalu semenjak AK-347 berderak meninggalkan runway bandara Adisucipto, namun mata mulai terasa berat. Duduk di bangku deretan tengah membuatku hanya bisa menikmati in-flight magazine sambil ditemani desing nyaring monoton mesin jet. Hamparan laut Jawa, selat Karimata hingga selat Malaka hanya paparan imajinasi karena terbatasi jarak ke jendela kabin, membuat mata ini hanya bisa menangkap imaji dominan warna biru menyilaukan. Akhirnya, ketika halaman-halaman full color di tangan tak lagi bisa membantu menahan kejenuhan, kusandarkan punggung dan menyerah pada kantuk yang sedari tadi menggantung di mata.
Goncangan-goncangan pelan membangunkanku dari lelap. Tepat ketika desing suara mekanis trailing edge flap mulai terjulur di sayap burung besi berbobot maksimal 78 metric ton ini. Belum usai kugeliatkan tubuh, gemuruh suara angin terdengar keras dalam kabin ketika panel-panel penutup lubang roda pendaratan terbuka. Tak lama, diiringi derak pelan di dinding kabin, kaki-kaki sang burung besi menggilas runway, merayapi sepanjang taxiway, hingga akhirnya lengking nyaring twin jet mereda ketika tubuh raksasa ini tiba di ujung apron.
* * * *
Seusai menelusuri lorong panjang skybridge, mendapatkan cap visa on-arrival di halaman passport, dan memindahkan rucksack dari conveyor baggages ke trolley, ayunan langkah membawa kami ke arrival hall yang menyambut dengan keriuhan dari balik pintu kaca otomatis. Derap langkah bergegas terpadu decit roda-roda trolley hingga ceracau obrolan para penumpang saling tumpang tindih memenuhi ruang dengar. Semua bercampur dalam satu alunan tak berujung dan terus menemani kami yang memutuskan beristirahat sejenak di salah satu gerai fast-food, dan akhirnya, alunan itu bercampur dengan obrolan kami yang mengembara tanpa arah.
Hiruk pikuk di Kuala Lumpur International Airport 2 ini tak terlihat sedikitpun tanda-tanda akan surut. Tak mengherankan, kesuksesan industri pariwisata Malaysia telah mendongkrak pesatnya perkembangan jumlah wisatawan dan bahkan mendorong meningkatnya aktifitas lalu lintas udara low budget hingga menyebabkan Low Cost Carrier Terminal Kuala Lumpur dirasakan terlampau padat. Sebuah alasan sangat kuat untuk memindahkan pusat operasional berbagai maskapai penerbangan low budget dari LCCT ke KLIA2 yang lebih luas dan besar.
Kaki-kaki kembali terayun ketika bosan mulai hinggap dan memaksa kami beranjak dari gerai fast-food mencari tempat lain untuk membuang waktu. Berbekal informasi tempat istirahat gratis dari beberapa blog backpacker, tapak demi tapak pelan menjajaki hampir setiap lorong plaza sambil bergantian mendorong trolley yang penuh tumpukan rucksack. Setelah menembus hiruk pikuk bandara di hampir setiap sudut ruang, akhirnya kaki-kaki kami terhenti tak jauh dari gerbang penghubung arrival hall dan skybridge. Bahkan, hanya selemparan pandang jauhnya dari gerai fast-food yang tadi kami tinggalkan. Tersembunyi di balik deretan trolley, sebentuk platform berlapis karpet tebal terhampar di depan mata dengan beberapa orang tampak nyaman terbalut lelap tak terganggu keriuhan disekitarnya.
Bermalam, ya Itulah yang akan kami lakukan disini. Awalnya, Kuala lumpur tak ubahnya tempat transit yang hanya akan kami lalui dalam perjalanan panjang kali ini. Namun tak disangka, kurang lebih satu minggu sebelum keberangkatan, sebentuk surat elektronik mengabarkan rescheduling flight, penerbangan selanjutnya yang seharusnya berangkat jam 17:35 telah diundur menjadi jam 10:50 keesokan harinya! Membuat kami berpikir yang akan kami lakukan untuk menghabiskan rentang waktu selama 20 jam.
* * * *
Kupandangi jam di tangan yang jarum-jarumnya memperlihatkan saat ketika Matahari telah condong di ufuk barat. Obrolan dan canda ringan melayang tanpa arah sambil sesekali jari-jari tangan menari di layar touchscreen menjelajahi berbagai ruang informasi melalui jejaring free Wi-Fi telah membalut waktu hingga bergulir tak terasa. Bahkan cukup lama hingga impuls-impuls syaraf dalam diri mulai merindukan efek psikologis yang terbentuk ketika partikel-partikel nikotin memicu otak memproduksi Dopamine. Membuat jemariku kembali menari di layar touchscreen, menelusuri peta digital setiap layer lantai airport yang konon berpredikat backpacker friendly ini dan mulai mencari lokasi “Smoking Area”. Setelah sebaris nama ruang itu tertangkap di sudut mata, kugeliatkan tubuh segera beranjak meninggalkan hamparan karpet tebal tempat Widhi dan Fitria yang masih asyik dengan gadget-nya masing-masing.
Seiring langkah terayun pelan di The gateway@klia2, selasar lebar terapit jendela-jendela etalase pertokoan membuat benak menangkap sebuah citra paradoks pada airport yang konon dibangun dengan konsep untuk memanjakan para penjelajah ber-budget terbatas. Akan tetapi, mungkin karena keterbatasan pemahamanku saja, benak ini masih tetap menganggap keterbatasan dana kurang tepat disandingkan dengan aktivitas komersial atau hasrat berbelanja. Tanpa ingin berkutat dengan hal itu, akhirnya kubentuk kesimpulanku sendiri bahwa tak herankan apabila sebentuk pusat pertokoan selalu hadir untuk melengkapi international airport yang sekaligus transportation hub. Case Closed!
Ketika kaki menapaki lantai dasar, hiruk pikuk kembali menyambutku di terminal antar moda transportasi. Seketika mengingatkanku pada salah satu scene dalam karya Ron Fricke di film besutannya di tahun 1992 berjudul Baraka. Pergerakan para calon penumpang dalam mode time-lapse membentuk ritme layaknya aliran sungai. Kelompok demi kelompok bergerak hilir mudik silih berganti mengikuti bendera-bendera kecil jasa tour pariwisata bagaikan ombak yang menghempas menyibak kerumunan menjadi kelompok-kelompok kecil menjadi riak-riak di tepian, menggemuruhkan derap kaki dan dengung obrolan di antara jalinan tiang-tiang konstruksi penyangga raksasa. Semua terpapar mendominasi ruang dengar dan indera pengelihatanku.
Kaki terus melangkah meninggalkan terminal, hingga tiba di salah satu sudut sepi ujung lajur-lajur platform penurunan penumpang bus. Satu-satunya tempat yang bebas dari tempelan poster dilarang merokok dan tidak ada yang mencegah irisan tembakau dalam gulungan kertas itu mulai terbakar di negeri Jiran. Tentu saja setelah meyakinkan diri dengan jawaban salah satu petugas keamanan yang kebetulan berpatroli, “Yes! You can smoke there”. Seklumit petualangan lain pun dimulai hingga beberapa jam kedepan di ruang yang sebenarnya tak begitu nyaman menjadi tempat menghabiskan waktu ini.
* * * *
Malam semakin larut, platform berlantai semen pun mulai memendarkan rasa dingin. Tanpa terasa, telah berjam-jam kududuk disini dan entah sudah berapa batang gulungan tembakau telah habis terbakar. Kupandangi beberapa puntung yang diam saling bertumpukan di asbak yang kubuat ala kadarnya, sesaat memunculkan sedikit rasa geli dalam benakku. Ketika berbagai kampanye kesehatan menempatkan aktivitas mengkonsumsi nikotin dalam batangan-batangan tembakau menjadi salah satu isyu utama yang harus diperangi dan membuahkan salah satu solusi berupa menempatkan para penikmatnya jauh dari “peradaban” dalam ruang sempit dan tertutup. Entah kenapa, kandungan minyak jenuh di sebagian produk makanan yang menyebabkan meningkatnya kolesterol penyumbat gerak laju darah melalui pipa-pipa kapiler dalam tubuh seakan bukanlah menjadi hal yang perlu diberi label poisonuous ataupun himbauan kesehatan. Tak mau terjebak dalam perdebatan tanpa henti yang mungkin akan masih berlangsung hingga waktu yang tak pasti, mungkin hanya perlu sedikit pemakluman saja bahwa rokok jauh lebih mudah dijadikan musuh.
Terlepas dari argumen subjektif yang kutanamkan dalam benak itu, Smoking Area selalu menjadi salah satu tempat favoritku dimanapun. Di ruang sempit inilah banyak orang sejenak berhenti dan duduk bersama-sama. Uniknya, meski tak mengenal satu sama lain, terkadang berada di tempat yang sama selama beberapa saat telah memudahkan mereka untuk saling bertegur sapa dan bercerita. Seperti apa yang terjadi beberapa saat lalu, ketika seorang bapak setengah baya meminjam geretan. Tanpa perlu waktu lama, kisah tentang asal dan tujuan masing-masing meluncur menjadi awal pembicaraan dan terus melaju. Sambil sesekali terdiam, rangkaian kata berisi kisah masa lalu dan perjuangan hidup yang membawanya ke sebuah perkebunan kelapa sawit di Selangor mengalun dari bibir sang bapak. Dan akhirnya, membawanya pada kisah harapan masa depan untuk terus mempertahankan keutuhan keluarganya.
Angin dingin membelai dan menarikku dari imaji berbagai kisah yang terkumpul dalam benak. Platform telah hampir benar-benar sepi terselimuti kesunyian. Bus yang sesekali melintas pun hanyalah berupa tubuh-tubuh kosong tanpa penumpang, sementara sesekali terdengar para kondektur meneriakkan tujuan akhir ke arah segelintir calon penumpang. Kutarik resleting inner jacket hingga ke pangkal leher sambil menghembuskan gumpalan asap dari hirupan terakhir batangan nikotin yang menandai waktu kuberanjak pergi. Kembali ke tempat kedua teman seperjalanan kutinggalkan.
* * * *
Sepertinya, hamparan hangat itu masih belum menarik bagiku. Baru seputaran jarum panjang di jam tanganku, kembali kutinggalkan Fitria, Widhi, dan tumpukan rucksack kami. Namun, kali ini mereka titipkan padaku setumpuk peralatan elektronik yang butuh di-recharge setelah seharian didera untuk menemani mereka membuang waktu, sementara mereka akan me-recharge diri mereka dalam selimut mimpi. Ronda sendirian? Mengapa tidak?! Toh, Tubuh ini masih terlalu segar untuk kembali kubenamkan dalam tidur. Tentu saja, alasan terbesarku hanyalah tak ingin sedikitpun waktu kulewatkan untuk menyerap apapun di salah satu sudut negeri ini.
Tak terasa, beberapa pasang mata petugas keamanan mulai menatapku lekat. Namun, tak sedikitpun hal itu kurasakan sebagai gangguan. Tak mengherankan, dari sekian banyak para calon penumpang penerbangan pagi yang memilih tidur, sedangkan tubuh-tubuh lelah yang baru tiba dari penerbangan malam lebih memilih untuk langsung pergi, hanya saya sendiri yang bergerak mondar-mandir mengelilingi gateway mall ini bagai tanpa arah. Namun, tatapan curiga itu segera sirna ketika sebentuk stop kontak di salah satu pilar selasar kupilih menjadi tempatku melewatkan waktu. Kuhempaskan tubuh di keramik lantai nan dingin, sambil menancapkan terminal listrik yang penat terhubung dengan beragam kabel ke stop kontak. Seketika tegangan rendah 220 volt mengaliri kanal berisi serabut metal hingga adaptor mengubahnya menjadi tegangan searah, sebentuk aliran yang ramah untuk ditampung di setiap baterei peralatan elektronik kami.
Berbeda dengan siang tadi, malam menghimpit lorong selasar lebar KLIA2 dengan kesunyian, meninggalkan dengung pendingin ruangan menampar setiap lekuk matra dan wastu. Waktu seakan berhenti ketika setiap dinding beku, deretan tong sampah, papan-papan penunjuk arah, hingga tumpukan kursi diatas deretan meja kedai dalam kegelapan seakan menggaungkan kembali hiruk pikuk disepanjang selasar hari ini. Benak kembali luruh melintasi ruang dan waktu, berbincang dengan berbagai pecahan kejadian yang telah terjadi dalam bayang-bayang semu. Menghadirkan imaji ketika tubuh-tubuh bergerak dalam satu aliran panjang tanpa henti, mengayunkan langkah-langkah kaki hampir serempak berdetak setiap kali menapak keramik lantai, diiringi gemeletuk roda-roda kaki koper, berselimut riuh perbincangan dan decit Roda trolley yang kepayahan memanggul beban. Walau terkadang derap ayunan langkah kaki sekelompok pejalan kembali hadir bersahut-sahutan dengan gemeletuk roda-roda trolley mengusir setiap bayang dan gaung kembali menghilang di dinding-dinding beku, kesunyian tetap kembali merajai lorong-lorong panjang ini.
* * * *
Jarum jam ditangan telah perlihatkan waktu ketika ufuk timur biasanya mulai membiaskan surai kemerahan sang mentari. Tepat ketika kurasa keletihan mulai mendera punggung dan mata. Ternyata, setelah mencoba membungkuk sedalam mungkin untuk menarik otot-otot punggung, kelegaan karena terlepas dari kekakuan malah sepertinya memperkuat rasa kantuk di mata. Membuatku bergegas menutup laptop, mencabut seluruh kabel meski beberapa baterei belum benar-benar fully charged dan melemparkan semua kedalam backpack. Kurasa petualanganku di salah satu sudut Kuala Lumpur telah cukup. Selanjutnya, yang kuinginkan hanyalah meluruskan punggung di sebuah bidang datar. Menghabiskan waktu yang hanya tersisa beberapa jam sebelum melanjutkan dengan membenamkan diri dalam lelap.
Berbeda dengan semalam, hamparan karpet tebal penginapan sederhana tanpa bayar KLIA2 yang sebelumnya dipenuhi tubuh-tubuh letih para pejalan, pagi ini terlihat lengang ketika kutiba di ujung platform. Hanya tersisa beberapa tubuh berselimut mimpi, sedangkan Widhi dan Fitria terlihat masih kusut masai seusai terbangun dari tidur. Setelah berbincang sejenak, menyerahkan alat-alat elektronik yang mereka titipkan dan meminjamkan laptop untuk memesan hostel murah sebagai tempat menginap di kota tujuan, kuhempaskan tubuh di kehangatan bulu-bulu sintetis dan mulai menyerahkan diri pada rasa kantuk yang semakin kuat terasa. Perjalanan selanjutnya menuju barat laut Malaysia mungkin tidaklah terasa jauh karena kecanggihan media trasportasi yang kami gunakan. Namun, menjelajahi udara sejauh sejauh 3.273 km tentu tetap memerlukan waktu yang tidak sebentar. Di iringi alunan new age music, perlahan kesadaran perlahan semakin buram, hingga akhirnya gelap benar-benar pekat menyelimuti benak……..

* * * *
You must be logged in to post a comment.