Belitung – Negeri Serumpun Sebalai
Teks by Wawies-Wisnu Wisdantio
Published as E-Book in Indonesian Edition by www.landscapeindonesia.com
Wajah pulau serumpun sebalai
21.05.2010
Langit cukup cerah ketika kami tiba di bandara H. AS. Hanandjoeddin di pulau seluas 4.595 Km2 bernama Belitung, atau dalam bahasa lokal disebut Belitong. Sebuah bandara yang terlalu kecil bagi pulau yang pernah terkenal sebagai salah satu penghasil timah terbesar di Indonesia setelah pulau Bangka.
Tetapi tidak bisa dipungkiri, kebesaran nama Belitung seakan ikut tenggelam semenjak runtuhnya masa kejayaan penambangan timah dan puncaknya saat PT Timah sebagai pemilik Kuasa Penambangan terbesar di Belitung menutup Unit Penambangan Timahnya pada 29 April 1991. Namun, bayangan kelam itu lebur tanpa sisa ketika kami memasuki ruang pengambilan bagasi pesawat. Keramahan para Ground Crew dan staf bandara menciptakan suasana sangat berbeda dibandingkan suasana bandara Soekarno Hatta yang kami tinggalkan 45 menit lalu, seakan mengucapkan “Selamat Datang di Belitung, Negeri Serumpun Sebalai.”
Meluncur diatas jalan aspal mulus yang lengang, deretan rumah-rumah tradisional masyarakat Melayu memenuhi bingkai kaca jendela taxi plat hitam yang kami sewa. Tak terasa 30 menit berlalu ketika kami sampai di Grand Hotel Pondok Impian tempat kami menginap. Salah satu hotel terbaik di bibir pantai Tanjung Pendam dengan tarif menginap mulai dari 400 ribu hingga 600 ribu rupiah permalam. Meskipun disambut hujan deras, kami beruntung masih mendapatkan 2 kamar kosong, ketika seluruh kamar telah full booked untuk malam itu. Bahkan, Hotel Pondok Impian I yang berada diseberangnya yang bertarif mulai dari 150 ribu hingga 300 ribu rupiah permalam pun bernasib sama.
Ketika hujan tinggal menyisakan gerimis, pantai Tanjung Pendam mulai menunjukkan iming-iming keindahannya. Selat Gaspar yang tengah surut tampak tenang disepanjang horizon dan menyisakan hamparan luas pasir putih membentang hingga sekitar 250 meter. Kesunyian telah membius kami untuk melangkahkan kaki di daratan landai dan lunak bercampur endapan lumpur sambil sesekali melewati deretan kapal nelayan terdampar. Terusik oleh kedatangan kami, ribuan kepiting lumpur (Ocypodidae) kecil berwarna merah pucat berlarian menjauh dan kemudian bersembunyi dibalik pasir pantai yang mereka gali.
Tanpa terasa, ternyata kami sudah berjalan cukup jauh dan menemukan salah satu potret keseharian dari masyarakat Belitung. Beberapa pria tampak sibuk menyiramkan air laut ke dalam sebuah kotak kayu penuh pasir pantai. “Ngelimbang,” demikian mereka menyebut cara tradisional mendulang timah yang sedang mereka lakukan. “Masih untung kalo bisa dapet 3-4 ons sehari, satu kotak ini saja belum tentu dapat 1 ons,” ujar mereka sambil menyiramkan air. Butiran halus timah mentah berwarna hitam sepertinya memang belum bisa dilepaskan dari belitung.
Menjelajahi surga batu, pantai utara pulau Belitung
22.05.2010
Pukul 9 pagi, tetapi jalanan masih sepi, sehingga mobil yang kami sewa 350 ribu per hari melaju sejauh 31 km ke utara tanpa hambatan. Namun, perjalanan pagi itu terasa agak membosankan karena lansekap sepanjang perjalanan hanya dipenuhi deretan pohon kelapa dan rumah panggung. Beruntung wajah salah satu primadona pulau Belitung mulai terlihat dan tak lama kemudian kami telah bertelanjang kaki berdiri di hamparan pasir putih pantai Tanjung Tinggi.
Gradasi warna biru tua ke biru muda kehijauan laut mendominasi lansekap teluk yang oleh penduduk sering disebut Pantai Bilik. Gugusan batuan granit dari berukuran beberapa meter kubik hingga ratusan meter kubik bertaburan di kedua semenanjung yang mengapit teluk dan di lepas pantai, sehingga membuat air laut di dalam teluk menjadi sangat tenang dan hampir tidak bergelombang.
Menyusuri sela-sela Granit berukuran raksasa yang menurut penelitian M. Safei Siregar dan tim dari Puslitbang Geoteknologi – LIPI (1992), menyebutkan bahwa telah berumur lebih dari 208 -245 juta tahun, ternyata memberikan pengalaman tak terlupakan. Meski sedikit miris, setelah memberanikan diri naik sambil sesekali melompat dari satu batu-ke batu lainnya, keindahan lansekap pantai Tanjung Tinggi terpapar dengan kesan yang selalu berbeda di setiap tempat kami berdiri. “Bagaimana? Cantikkah?” tanya driver rent car kami sambil tersenyum, tetapi saya hanya mampu meringis karena tak tahu kata yang tepat untuk menggambarkan keindahannya.
Melanjutkan ke arah selatan sejauh 2 km, sampailah di pantai Tanjung Kelayang. Pantai yang namanya diambil karena banyak ditemukan species burung yang oleh penduduk setempat disebut burung Kelayang, memiliki garis pantai cukup panjang dan dipisahkan sebuah semenanjung berujung gugusan batu granit berbentuk kepala burung menjadi dua bagian, yaitu sisi barat dan timur. Keunikan pantai itu adalah gugusan batu granit hanya ditemukan di pantai sisi barat, sedangkan pantai sisi timur didominasi hamparan pasir dan deretan pohon kelapa. Tak hanya itu, aktivitas keseharian nelayan lokal di pantai sisi barat juga menjadikannya lebih menarik ketimbang sisi timur yang dipenuhi aktivitas pariwisata semata.
Terdapat dua jalur untuk mencapai pantai sisi barat dari pintu masuk dan keluar kawasan pantai Tanjung Kelayang di pantai sisi timur. Jalur pertama adalah dengan menyusuri garis pantai dan semenanjung pembatas, sedangkan jalur kedua adalah jalan potong menembus lahan luas penuh puing bangunan resort yang proses pembangunannya tidak dilanjutkan. Agaknya, keramahan benar-benar menjadi ciri khas masyarakat Belitung. Kusuma Kosasih, salah satu penggiat Tour Organizer di Belitung yang sempat kami temui di Grand Hotel Pondok Impian dan kebetulan berada di Tanjung Kelayang, dengan sukarela menunjukkan jalur potong sekaligus menjadi guide dadakan kami selama berada di pantai sisi barat.
“Belum ke Belitung kalau belum merasakan sayur Gangan di Congbu” seloroh pak Kusuma setelah mengetahui perut lapar kami tidak bisa lagi mentolelir. Congbu adalah nama warung makan seafood sederhana di bibir pantai, tepat diantara pantai Tanjung Tinggi dan Tanjung Kelayang. Sedangkan sayur Gangan tidak lain adalah nama sup berbahan dasar kepala ikan dengan bumbu rempah berasa kuat, sangat mirip sup Tom Yam, sup khas negeri gajah putih, Thailand. Berdasar rekomendasi pemilik Congbu, kami memilih bahan paling Gangan enak, yaitu kepala Ikan Ketarap (Parrotfish, Scarus rubroviolaceus). Selain itu, olahan udang Kipas (Slipper lobster, Thenus orientalis), sayur kangkung, serta beberapa menu lokal lainnya kami pilih untuk mewarnai petualangan kuliner siang itu.
Belum puas berpetualang, Pantai Tanjung Binga yang hanya berjarak sekitar 20 menit dari Congbu menjadi tujuan kami selanjutnya. Sejauh mata memandang, puluhan kapal Bagan milik penduduk sekitar tertambat di deretan dermaga kayu mendominasi lansekap pantai Desa nelayan tersebut. Namun sayang, hujan yang sempat reda kembali turun sehingga hanya memberi kami kesempatan sejenak untuk menikmati pantai Tanjung Binga sambil berdiri di dermaga yang membelah laut sepanjang 100 meter. “Akhir-akhir ini cuaca di Belitung kurang bersahabat bila sore, karena sangat sering turun hujan,” teringat keterangan Tony, salah satu crew team pak Kusuma Kosasih, semalam di Grand Hotel Pondok Impian.
Kopi, satu kata dalam pikiran untuk menutup petualangan yang tak lagi bisa dilanjutkan di tengah cuaca tidak bersahabat. Tak jauh dari gereja Regina Pacis dan hanya berjarak selemparan batu dari gerbang masuk Pelabuhan Tanjung Pandan, mobil berhenti di depan sebuah bangunan sederhana, Warung kopi Hong Djie. Sambil menikmati kopi O, istilah penduduk Belitung menyebut kopi hitam yang kental dan pekat, kami ketahui dari cerita kedua pelayan yang cukup ramah bahwa warung kopi itu ternyata sudah cukup berumur, bahkan pemiliknya sekarang adalah generasi yang ke-tiga. Meskipun demikian, kesederhanaan dan keunikan tungku tempat memasak air di luar jendela masih dipertahankan, sehingga menjadi ciri khas dari warung yang selalu ramai oleh para penikmat kopi tersebut.
Minum kopi agaknya sudah menjadi tradisi bagi penduduk Melayu. Bukan sekedar menikmati kopi khas Belitung yang disajikan secara unik, yaitu kopi diaduk terlebih dahulu dalam sebuah teko alumunium sebelum dituang ke dalam gelas sambil disaring menggunakan saringan khusus mirip kaos kaki. Tetapi, warung kopi bagi penduduk Melayu, khususnya Belitung, adalah tempat untuk bercerita, berdiskusi, dan bahkan berbagi pengalaman. Uniknya, sosialisasi tersebut tidak hanya terjadi antar penduduk yang saling mengenal saja, bahkan juga kepada pengunjung dari luar pulau yang menyempatkan datang ke warung kopi sekalipun. Sehingga tidak mengherankan bila tak banyak orang Belitung yang berlangganan surat kabar, karena informasi bisa didapatkan dengan sangat mudah ketika kita berada di sebuah warung kopi.
Perlukah kita ke Karibia atau Hawaii bila bisa ditemukan di negeri sendiri
23.05.2010
Dari Tanjung Kelayang, salah satu titik pemberangkatan selain pantai Tanjung Binga, dengan bantuan pak Taufik sebagai nahkoda kapal kayu milik pak Kuku yang disewa 350 ribu perhari, kami memulai petualangan hari itu mengunjungi gugusan pulau di sisi utara pulau Belitung.
Baru sejenak beranjak, kapal bermesin diesel kembali melambat diatas perairan lepas. Kejelian mata pak Taufik menangkap bayangan hitam di laut, memberi kami kesempatan langka melihat seekor Penyu hijau (green turtle, Chelonia mydas) berenang dengan tenang. Menurut pak Taufik, penyu hijau dan penyu sisik memang sering ditemukan di Belitung. Tetapi cukup mengherankan, berdasar reportase Aprizal Rahmatullah (19/01/2010), http://www.detiknews.com, di dalam wilayah kepulauan Bangka Belitung yang terdapat satu penangkaran bernama Batavia Bangka Beach yang didirikan tahun 2008 oleh pengusaha lokal bernama Sean Sugito di Jalan Bukit Kuala, Sungai Liat, Pulau Bangka. Meskipun demikian, satu-satunya penangkaran itu menjadi setitik harapan ketika usaha konservasi di kepulauan bangka belitung masih menemui banyak kendala.
Cukup banyak pulau indah yang menjadi tujuan penjelajahan siang itu. Sebuah pulau pasir ditengah laut menjadi titik awal. Pulau dengan luas sekitar 400 m2 tersebut hanya terlihat ketika laut tengah surut dan sering digunakan burung camar beristirahat. Salah satu “penghuni” pulau kami temukan di beberapa tempat disekitar pulau, yaitu bintang laut bertanduk (Protoreaster nodosus) berukuran cukup besar berwarna merah yang cukup kontras dengan warna pasir yang putih kecoklatan.
Perjalanan dilanjutkan sampai di pulau Batu Berlayar, pulau dengan ciri khas berupa gugusan granit vertikal seperti layaknya tiang kapal layar. Merasakan duduk dibalik bayang-bayang batu granit di pulau gersang dan hanya dihuni beberapa burung camar memberikan nuansa berbeda bagi kami yang terlalu letih oleh kepadatan aktivitas keseharian. Di salah satu batu granit, menurut penuturan pak Taufik, apabila diambil dengan kamera akan terlihat seperti kepala ular kobra, beberapa kali kami mencoba mengambil gambar dengan sudut yg berbeda tapi masih belum bisa juga menangkap gambaran kepala ular kobra. Selain itu keunikan lain yang kami temukan di pulau ini adalah perubahan warna air laut yang semula gradasi biru tua, biru muda dan kehijauan, tiba-tiba sebagian berubah warna menjadi merah tua dan hanya terjadi di sisi barat pulau. Uniknya, warna merah tersebut membentuk satu garis lurus dari arah selatan pulau, yaitu dari salah satu pantai di pulau Belitung. Sebuah fenomena alam yang cukup aneh tetapi menyimpan sebuah keindahan tersendiri.
Kami beruntung ditemani pak Taufik yang selain jago mengemudikan perahu juga seorang fotografer profesional. Beberapa kali ketika kami minta pak Taufik untuk mengabadikan momen foto keluarga kami memberikan instruksi bagaimana kami harus mengambil posisi. Dan hasil foto jepretan pak Taufik sudah sekelas fotografer amatiran seperti kami ini. Bahkan pada saat salah seorang dari kami sedang melintas di belakang rekan yg sedang sibuk difoto, pak Taufik mengingatkan “mas.. minggir sedikit..blocking nih” :p
Bergerak semakin jauh ke barat, monumen batu granit kembali menjadi pemandangan pertama yang kami lihat meskipun kapal masih cukup jauh, berupa gugusan batu granit berbentuk menyerupai paruh burung. Menurut cerita pak Taufik, pulau ini milik salah seorang pengusaha kaya di Belitung tetapi tidak lagi digunakan dan dibiarkan kosong. Salah satu koresponden biro swiss untuk salah satu harian di jakarta, krisna diantha (2007), menulis di forum indobackpacker, bangunan di pulau ini adalah penginapan sederhana milik Eddie Sopyan, pengusaha yang pernah terkenal sebagai komentator sepak bola.
Setelah menerobos pulau penuh pohon kelapa dan celah batu yang sempit karena jalan tepi pantai tertutup bebatuan sampai ketengah, pandangan bebas ke laut lepas diatas hamparan pasir putih kembali terpapar. Beberapa batu granit besar tersusun diatas batu granit kecil seperti ada yg sengaja meletakkan batuan tersebut dengan maksud tertentu.
Kelembutan suara gelombang air jernih tanpa ombak, sesekali suara burung dari beberapa pohon besar yang tumbuh liar, dan merasakan dinginnya pasir pantai yang lembut menjadi menu utama ketika kami menikmati kesunyian di pulau Burung. Tak heran bila ada seseorang yang ingin memiliki keindahan pulau ini dan membangun sebuah villa di atasnya.
Perjalanan kembali dilanjutkan menuju pulau paling utara dan satu-satunya pulau berpenghuni di deretan pulau sekitar belitung, Pulau Lengkuas. Pada dasarnya, pulau lengkuas memiliki karakteristik sama dengan pulau burung dan pulau lain di belitung. Pantai pasir putih, gugusan batu granit, dan keindahan biota di balik jernihnya air laut adalah hal yang juga ditemukan di pulau ini. Tetapi, yang kemudian membuatnya berbeda adalah keberadaan Mercusuar (lighthouse) setinggi 18 lantai yang dibangun pemerintah Kolonial Belanda tahun 1882 di pulau itu. Mercusuar yang telah terlihat semenjak kami berada di pulau Batu berlayar ini memang menjadi salah satu obyek selain keindahan gugusan batu Granit yang selalu menghiasi berbagai brosur dan web site pariwisata Belitung.
Tak heran bila bangunan ini menjadi obyek unggulan. Ketika memasuki Keindahan lansekap dalam bingkai jendela mercusuar selalu berbeda, karena perbedaan ketinggian dan perbedaan sudut peletakan jendela di setiap lantai. Duduk di ketinggian lebih dari 50 meter dengan pandangan lepas bebas menyapu horizon laut Natuna dan pulau belitung menjadi iming-iming keindahan yang akan kita nikmati sepuasnya setelah menapaki ratusan anak tangga. Menikmati mercusuar ini tak ubahnya membaca sebuah karya roman percintaan yang happy ending, sehingga kita akan betah berlama-lama meskipun duduk di lantai besi yang panas terjerang sinar matahari. Meskipun belum puas merasakan keindahan yang mempesona, kami akhirnya harus kembali pada realitas bahwa kami harus menapaki anak-anak tangga itu lagi.
“Meskipun kami disini cuma bertiga, tapi pulau ini nggak pernah sepi, mas. Soalnya nelayan sering merapat kalo cuaca sedang jelek. Malah terkadang pengunjung juga sering menginap disini, meski cuma pake kamar ala kadarnya,” seloroh penjaga mercusuar yang ternyata berasal dari Jawa Tengah
Finding the hidden paradise, demikian banyak ditulis oleh para backpacker untuk membahasakan Belitung dan deretan pulau utara ini. Sebuah quote sederhana yang tepat. Tak hanya di puncak mercusuar, gugusan terumbu karang di sisi barat pulau Lengkuas pun memiliki keindahan yang sangat mempesona. Namun sayang, hujan kembali datang dan kami harus kembali ke kapal pak Taufik karena gelombang tiba-tiba membesar. “Nggak apa-apa kok, ini masih tenang, jadi saya masih berani. Biasanya sih lebih besar kalo pas hujan kaya sekarang,” kata pak Taufik sambil senyum ketika saya memilih berada di buritan dan menemani pak taufik yang sendirian memegang kemudi kapal. Tak bisa dibayangkan, untuk ukuran ombak tenang ini saja beberapa teman kami sudah mulai pucat ketakutan, entah bagaimana ombak yang biasa dihadapi oleh pak Taufik dan teman-teman nelayannya ketika di lautan lepas.
Meskipun kami gagal pergi ke pulau Babi, pulau indah terakhir yang belum kami kunjungi karena perubahan cuaca, dalam perjalanan pulang ke Tanjung Kelayang, pak Taufik menawarkan untuk turun lagi di spot dive yang tak jauh dari pulau Babi. “Sayang kalo tidak kesana. Soalnya lebih bagus daripada yang tadi dan airnya nggak terlalu dalam,” bujuk pak Taufik. Sesampainya lokasi, kami masih sedikit bimbang karena hujan membuat air sedikit keruh sehingga terumbu karang tak begitu jelas terlihat. Tetapi, melihat pak Taufik sudah melompat dari atas kapal, mau tidak mau kami pun ikut melompat ke dalam air. Gila! Sangat indah sekali!. Tak puas hanya skin dive dan gerakan terhambat karena live vest yang membuat selalu mengapung, akhirnya rompi kuning itu saya tanggalkan. Dengan berbekal snorkle mask dan fins serta hanya perlu melakukan sedikit equalising karena kedalaman laut tidak lebih dari 5 meter, berenang di antara gugusan-gugusan Acropora dari yang tumbuh membentuk piringan selebar 1 meter (Acropora millepora) maupun berbentuk seperti semak belukar (Acropora elegantula), atau berenang mengejar clown fish (anemonefish) yang bersembunyi di balik anemon laut hanyalah sebagian kecil cara kami mencari keindahan taman air yang tersembunyi tak jauh dari Tanjung Kelayang ini.
Menunggu moment sunset menjadi puncak destinasi petualangan setelah kami meninggalkan pak Taufik dan pak Kuku di Tanjung Kelayang beberapa saat yang lalu. Mendung yang semula menutup cakrawala telah kembali terbuka dan memperlihatkan bias kemerahan sinar matahari sore ketika kami tiba kembali di Tanjung Tinggi. Hari ini agaknya hari penuh keberuntungan bagi kami, mengingat setiap sore hari di Belitung kami lewati bersama hujan. Cukup mudah mencari spot untuk menikmati keindahan sore pantai Belitung, karena setiap tempat selalu menawarkan keindahan dengan karakteristiknya masing-masing. Langit telah benar-benar gelap ketika kami meninggalkan Tanjung Tinggi menuju Hotel di Bukit Berahu untuk menghabiskan malam terakhir kami di Bumi Serumpun Sebalai.
Aku pergi untuk Kembali…
24.05.2010
Pagi di bukit berahu, pantai berpasir putih dan selat Gaspar menyambut ketika kami keluar dari cottage. Keindahan lansekap pantai di Belitung selalu berhasil membujuk kami untuk melangkahkan kaki menyusurinya. Tetapi, mengingat tidak punya waktu karena harus kembali ke Tanjung Pandan dan pulang, kami lebih memilih untuk sekedar duduk-duduk di bebatuan tak jauh dari Hotel. Menikmati hamparan pasir sedikit lembab berlumpur berhiaskan perahu-perahu bagan yang terdampar, memperhatikan gerombolan Ocypodidae si kepiting pemalu yang tengah melintas, membuat kami semakin berat meninggalkan surga yang tersembunyi ini.
Menapaki tangga curam meninggalkan deretan cottage menuju puncak bukit berahu menjadi langkah-langkah terahir kami di Bumi Serumpun Sebalai yang mempesona. Tapi kami pergi untuk kembali, karena Belitung terlalu indah untuk hanya satu kali dikunjungi dan masih banyak sekali pantai yang belum kami susuri. Kami pasti akan datang kembali, tuk sekedar kembali meninggalkan jejak-jejak langkah kami.
You must be logged in to post a comment.