Yadnya Karo Dibalik Selimut Kabut Wonokitri

Dengung ritmis Kenong dan Gong sayup terdengar di kejauhan. Rasa ingin tahu terusik dan membuatku beranjak dari penginapan. Berbekal jaket kain dan kamera dalam tas, langkah mulai terayun menelusuri jalanan lengang beraspal kasar di salah satu sudut dataran tinggi Tengger.

Wonokitri 01

Berada di desa yang terletak hanya berjarak 10 km dari kaldera Tengger membuatku terus mencoba beradaptasi dengan selimut pekat kabut dingin yang tak mampu ditembus kegarangan sinar Matahari tropis. Wonokitri, demikian nama desa di sisi barat laut kaldera gunung purba Tengger, cekungan raksasa berdiameter 8 – 10 km dengan luas 5.250 hektare yang melingkupi gunung-gunung baru di tengahnya, yaitu Gunung Bromo, Batok, Widodaren, Watangan, dan Gunung Kursi. Di antara kelimanya, hanya Gunung Bromo (2.392 m dpl) yang masih aktif hingga saat ini.

Wonokitri 02

Kelengangan yang semula menemani perlahan sirna, penduduk setempat dengan hanya berlindung di balik balutan sarung tipis bercorak khas dan beralas kaki sandal karet mulai memenuhi jalanan. Semakin mendekati pusat desa Wonokitri, hiruk pikuk semakin memadat hingga tak lagi bisa kulihat aspal kasar tempat kaki berpijak. Namun, kaki masih terbius alunan nada pentatonik yang terus memanggil, mengajak terus menembus lautan manusia menuju salah satu sudut desa yang belum kuketahui dimana. Gong berdentum menelan seluruh alunan dalam satu dengungan berat dan rendah, tepat ketika langkah kaki berakhir di samping sebentuk ruang kosong terlingkari padat penonton. Di tengahnya tampak seorang pria dengan gurat wajah tak lagi muda terbalut busana serba hitam hanya berdiri diam mematung. Hanya kedua mata tajamnya yang terus bergerak liar menelusuri sekeliling. Setelah seakan telah menemukan apa yang sedang dicari, jari tangan keriputnya terangkat menunjuk ke dua pria muda di balik kerumunan penonton. Tak ada sedikitpun kata terlontar, namun keduanya seakan paham dan hanya perlu beberapa saat bagi mereka masuk ke arena dan menanggalkan baju bertelanjang dada. Keheningan seketika membungkam riuh dengung obrolan para penonton. Semua mata terpaku pada dua tubuh kekar yang berdiri saling berhadapan dengan tangan yang memegang erat sebatang rotan sepanjang 1 meter.
Sepi terpecah hentakan irama gamelan setelah kedua tangan keriput sang pria tua terangkat. Menyatu dengan langgam monoton yang terdengar mistis ditelingaku, kedua pemuda itu mulai berlaga sambil meliukkan tubuhnya bagai menari. Salah satunya bergerak liar menekan dengan mengacungkan rotan diatas kepala, sementara lawannya merendahkan tubuhnya dan menyilangkan rotan di punggung untuk bertahan. Keduanya terus bergerak mengikuti langgam, menunggu saat yang tepat. Hingga akhirnya, deru suara tebasan rotan mencabik udara dan lecutan nyaring batang sebesar jari kelingking itu ketika menghantam salah satu tubuh dan mengakhiri geliat keduanya. Namun, hanya perlu waktu sebentar bagi pria yang sedari tadi hanya bertahan untuk mengernyit merasakan pedih di punggung, setelah keduanya kembali meliuk menari mengikuti irama, laga kembali berlanjut. Kali ini sang penyerang berganti menjadi pihak yang bertahan, menggeliat dan meliuk sambil menunggu sang lawan menorehkan rasa pedih yang sama di tubuhnya.

Wonokitri 03

Beberapa putaran berlalu, lecut rotan menjadi pengisi ruang dengar diantara suara pekik tertahan para penonton yang sesekali tertangkap telinga. Gurat demi gurat merah tertoreh nyata di beberapa bagian tubuh, menyiratkan rasa pedih pada siapapun yang memandangnya. Hingga akhirnya pelukan erat sang pria tua menjadi penutup laga. Jabat tangan dan pelukan erat menjadi penghapus semua rasa pedih sebelum keduanya berlalu begitu saja meninggalkan arena dengan senyum tetap tersungging seakan tak terjadi apa-apa.

– Aroma kopi kental menyebar memenuhi udara beranda rumah pak Supayadi, sang Dukun Pandhita, pemimpin adat masyarakat suku Tengger di desa Wonokitri. Sambil sesekali menghirup kretek kegemarannya, Pria setengah baya itu runtut menjelaskan laga yang biasa disebut permainan Ojung, “awalnya Ojung itu merupakan upacara kecil untuk memohon datangnya hujan. Bertelanjang dada atau dalam bahasa Jawa disebut Wuda (Telanjang) bisa diartikan adanya keinginan untuk membersihkan diri. Sedangkan dibukanya baju atau dalam bahasa Jawa disebut diwudani (ditelanjangi) diartikan dengan permohonan untuk dihujani, karena Udan dalam bahasa Jawa juga berarti Hujan.” Sambil mematikan kreteknya di asbak, pak Supayadi menambahkan, “sebenarnya bukanlah semata-mata memohon datangnya hujan dalam arti harafiah, tapi dimaknai sebagai permohonan datangnya berkah dalam bentuk apapun, seperti panen, keselamatan, kedamaian, dan lain sebagainya.” –

*  *  *

– Yadnya Karo, sebentuk perhelatan adat di setiap awal bulan ke dua dalam siklus penanggalan Tengger yang sangat kental dipengaruhi perhitungan kalender Saka. “Yadnya Karo memiliki arti sangat dalam bagi kami,” ujar Pak Supayadi setelah kembali menyalakan batang kretek kesekian. Disinilah masyarakat Tengger memperingati asal usul kehidupan dan bagaimana hubungan mereka dengan sang pencipta.  Merefleksikan kembali nilai dasar kehidupan manusia yang disebut Sangkan Paraning Dumadi, yaitu asal kehidupan (sangkan), bagaimana kehidupan ditempuh untuk menggapai tujuannya (paran) dan bagaimana semuanya akan membentuk kesejatian dirinya sebagai manusia nantinya (dumadi). Karo yang berarti dua juga dimaknai sebagai sebentuk simbol akan hubungan harmonis antara dua sisi kehidupan. Meskipun saling berkebalikan, keduanya selalu bergerak bersamaan dan menciptakan keseimbangan di dalam kehidupan. Seperti halnya hubungan harmonis yang tercipta antara pria dan perempuan, atau bahkan hubungan yang tak akan pernah usai antara kejahatan dan kebaikan. “Disaat inilah masyarakat Tengger melebur segalanya untuk kembali seimbang, tak ada lagi dendam maupun hutang. Semua kembali bersih. Tidak hanya antar orang Tengger, tetapi juga hubungan antara kami dengan sang kehidupan dan ibu pertiwi,” lanjut dukun pandhita dusun Wonokitri dengan suara berat yang menampilkan karismanya sebagai seorang pemimpin adat.

Siang masih terik terasa meski matahari mulai beranjak ke ufuk barat ketika kutinggalkan pelataran arena Ojung. Meski kaki telah melangkah menjauh melalui jalan-jalan kecil yang menyebar dari jantung desa bagaikan pembuluh darah, gegap gempita perayaan Karo tetap kental terasa. Meski tak seramai pusat Wonokitri, terlihat hiruk pikuk yang berpusat di beberapa rumah. Beberapa keluarga tampak berkumpul bahu membahu tanpa ada satupun yang hanya berpangku tangan membangun sebentuk tandu kecil berisi Banten atau sesaji. Di atasnya terletak 3 nyiru atau tampah berisi 9 tumpeng kecil lengkap dengan lauk pauknya. Tertata bersisihan dengan sayur kara, daun sirih, kapur dan sepotong pinang (jambe ayu), jadah ketan putih dan ketan hitam, conthong berisi apem, serta seikat pisang ayu. Panggilan para penduduk membuat langkahku sesekali terhenti untuk sekedar singgah bercengkerama sambil mencicip sedikit penganan ditemani secangkir teh hangat.
Menembus jalanan beton membawa langkahku tiba di ujung desa. Terdiam sebentar untuk menikmati gurat-gurat tanah penyangga kaldera purba Tengger yang menjulang, mata tertumbuk memandang beberapa pria berjalan santai sambil menarik tali kekang seekor kerbau jantan yang gagah. Entah mengapa, tiba-tiba insting seakan mengambil alih tubuh menggerakkan otot-otot kaki untuk mengikuti mereka. Tak seberapa jauh berjalan tercucuk rasa penasaran membawaku ke sebentuk pelataran berlantai beton. Tanda tanya yang sedari tadi memenuhi benak seketika menguap. Kedatangan seorang pria memanggul karung anyaman plastik berisi beberapa benda tajam membentuk sebuah citra dalam logika, “upacara kurban!” tebakku cepat.
Belakangan kuketahui bila pengorbanan kerbau itu menjadi salah satu bagian dari upacara hari raya Unan-unan, perhelatan besar yang hanya dirayakan setiap 5 tahun sekali sesuai penanggalan Tengger. Upacara yang diadakan untuk membersihkan desa dari segala penyakit maupun penderitaan, serta memohon kepada Sang Hyang Widhi Wasa untuk selalu melindungi desa dari “sengkala” atau bencana. Salah satu kekhususan upacara ini adalah dikorbankannya seekor kerbau menjadi kelengkapan sesaji yang disebut Kalan. Sesaji ini, selain akan ditanam sebagai persembahan, dagingnya akan dibagi-bagikan kepada warga setelah upacara selesai yang kemudian akan mereka masak tanpa menggunakan garam. Bagi masyarakat Tengger, kerbau atau dalam bahasa Jawa kuno disebut Mahisa mengandung beberapa makna filosofis. Mahi memiliki arti sebagai kebesaran dunia atau wujud yang agung, sedangkan Isa berarti sesuatu yang berkuasa atau bisa diartikan sebagai nama Siwa, salah satu dari 3 mahadewa dalam kepercayaan Hindu.

*  *  *

Senja telah berganti pekat malam. Sudah dua kali perputaran matahari semenjak kedatanganku di Wonokitri. Namun, desa di tepian Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru ini terus menggeliat tanpa sedikitpun menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Menginjak malam terakhir sebelum prosesi panjang perhelatan Unan-unan yang akan berpuncak keesokan hari, gegap gepita suku Tengger semakin pekat terasa di jalanan temaram yang hanya diterangi deretan pijar lampu parafin petromax. Jalanan terapit dinding-dinding rumah bagaikan menjadi sebentuk kanal dibanjiri gelombang tubuh-tubuh berhimpitan para pejalan kaki. Derap kaki menapaki aspal kasar terdengar semakin riuh, dengung obrolan dari berbagai arah tak lagi bisa ditebak sumbernya diiringi desis lampu petromax, alunan nyanyian dangdut dari speaker sound system penjual VCD player, hingga irama pentatonik kenong dan gong dari arena Ojung yang masih terus berlanjut. Semua terasa tumpang tindih memenuhi ruang dengarku.
Terlepas dari himpitan gelombang manusia, nafas sedikit lega setelah kami tiba di ruang makan balai desa. Ruang tempat bertemu para tetua desa pertama kali ketika tiba di Wonokitri tempo hari yang kemudian menjadi tempat yang paling sering kami datangi. Sekaligus tempat pertama kali kurasakan hangat rasa kekeluargaan Masyarakat Tengger kepada kami yang sebetulnya hanyalah orang-orang asing, “bila adik-adik ini kebetulan lapar dan mau mencicipi masakan ala kadarnya, silahkan datang saja ke sini untuk makan. Semua disiapkan untuk siapa saja yang mau dan membutuhkan. Jadi tidak perlu merasa sungkan,” ucap salah satu tetua yang tentu saja sangat mudah ditebak bila tawaran itu tidak akan pernah kami lewatkan. Namun, malam ini terasa sedikit berbeda. Ruang makan disulap sedemikian rupa, belasan kursi besi tertata mengelilingi meja besar penuh aneka masakan terhampar. Sebentuk perjamuan meski sederhana terasa kidmat kurasakan. Terlebih lagi ketika merasakannya sambil duduk bersama para Sesepuh Desa, para Legen dan tentu saja pak Supayadi, sang Dukun Pandhita sekaligus guru yang selama beberapa hari telah membawa kami lebih dekat dengan perhelatan Karo dan budaya Tengger.
Seusai perjamuan makan, para Legen atau calon pandhita murid-murid pak Supayadi telah sigap mempersiapkan upacara Pamepek, upacara yang menandai semua peryaratan untuk melaksanakan prosesi Unan-unan keesokan hari telah lengkap. Hanya perlu waktu singkat para Legen telah menata gentong-gentong terakota bertuliskan rajah doa beraksara jawa, banten-banten beraneka ragam isi, hingga deretan rangkaian hasil bumi. Sedangkan tepat di hadapannya terhampar tikar pandan jalinan tangan tempat pak Supayadi duduk terdiam dikelilingi para sesepuh desa. Tak lama, seiring nyala dupa diatas bara dalam tungku tanah liat Prapen, rapal mantra puja dan doa-doa dalam bahasa kawi mulai dilantunkan sang dukun Pandhita, membungkam keramaian di balai desa dalam selimut kesunyian. Semua terhanyut dalam lantunan mantra doa yang seakan terbang mengikuti kepulan pekat asap dupa mengisi ke setiap relung ruang di balai desa. Masih tetap dilingkupi kekidmatan pujan, pak Supayadi mulai beranjak dari tempat duduknya. Berjalan dengan membawa cawan kuningan berisi air suci di tangan, Sang Dukun Pandhita melanjutkan prosesi dengan tetap melantunkan mantra yang tetap mengalir seakan tanpa jeda. Memercikkan air suci sarat doa-doa pujan keselamatan dan pembersihan, menyebarkannya ke setiap sudut ruang di balai desa.

Wonokitri 06

Tepat di penghujung prosesi Pamepek, benakku mulai terlepas dari selimut kekidmatan. Perlahan kusadari sebentuk keanehan terasa menggelitik, menimbulkan tanda tanya dalam benak. Dari sekian banyak orang di dalam ruang ini, seluruhnya adalah para sesepuh desa dan Legen. Sedangkan sisanya hanyalah kami dan tim liputan salah satu televisi swasta dari Surabaya saja, itupun bisa disebut “orang luar”. Entah mengapa, warga Tengger yang seharusnya menjadi tuan rumah prosesi agung ini hanya berdiri di luar dan menyaksikan dari balik jendela. Lalu, seusai para Legen membereskan peralatan upacara dan membuka pintu utama balai desa, pria-pria Tengger di halaman mulai mengular beranjak masuk. Seketika dinding-dinding ruang menggemakan obrolan yang membuncah bercampur dengan gemelinting suara piring tersentuh sendok logam. Tak berapa lama, dengung harmonis logam-logam gamelan mulai ditabuh, berpadu dengan gemerincing lonceng-lonceng gelang kaki saling beradu seiring hentak kaki empat tandak cantik menari Remo diatas panggung. Waktu terus berjalan menyeret malam semakin larut. Namun, kemeriahan tayub Tengger sepertinya masih jauh dari kata usai. Para tandak kelompok seni tayub Lestarining Budoyo dari Malang bagai tak memiliki rasa lelah, terus melenggok gemulai melambaikan selendang kuning, sesekali berhenti untuk mengalungkan sampur menandai giliran para pengibing ikut menari diatas panggung.

Wonokitri 07

*   *   *

Siang masih sangat muda, jam ditangan pun baru menunjukkan pukul 8 pagi ketika geliat puncak prosesi Hari Raya Karo mulai terasa. Kelompok demi kelompok para pria memanggul ancak penuh sesaji tiba dari berbagai arah, memenuhi halaman balai desa yang lapang dengan ancak berbagai rupa dan bentuk. Meski kemeriahan sempat terhenti oleh guyuran rintik hujan dan memaksa setiap orang berhimpitan di tempat teduh, namun tak ada satupun masyarakat Tengger terlihat bosan ataupun menyiratkan raut muka masam sambil merutuki alam. Semua tampak sabar menunggu sang langit menyelesaikan curahan berkahnya bagi sang bumi. Sebentuk budaya masyarakat yang menyelaraskan hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Bagi mereka, manusia hanyalah bagian kecil dari jagad, sedangkan alam adalah sumbere panguripan atau sumber kehidupan itu sendiri.

Wonokitri 08

Belum lama berselang setelah hujan benar-benar reda, kedatangan sebuah mobil pick up membuat para warga beranjak berdiri. Beberapa pemuda tampak menyambut kedatangannya dan sigap segera mulai menyibukkan diri mengangkat tandu bambu tempat sang Kalan dari dalam bak terbuka mobil dan perlahan memindahkannya ke atas pundak-pundak kokoh mereka. Tertopang kerangka bilah bambu, sisa-sisa tubuh sang Mahisa yang tinggal kepala, kulit, dan kaki-kakinya kembali dirangkai hingga terlihat bagai seekor kerbau yang seakan tertidur pulas diatas tandu. Menyusul kedatangan Kalan, para Legen pun mulai mengeluarkan bermacam sesaji yang semalam telah dipayungi mantra-mantra doa, menandai akan dimulainya prosesi puncak dari perayaan adat yang sudah berjalan selama beberapa hari ini. Diiringi rancak suara simbal-simbal tangan dan detum irama gendang, ratusan pasang kaki mulai melangkah mengantar Kalan dan barisan Banten mengelilingi desa hingga nantinya akan berakhir di Pura Dhang Kahyangan Kerti Jaya Karana, pura desa yang berdiri megah di puncak tanah tertinggi Wonokitri.

Rangkaian mantra dan doa pada sang pencipta berlanjut pada kisah panjang asal mula wong Tengger masih berlangsung. Sejenak dari sudut mata menangkap bayang pak Supayadi yang melangkah meninggalkan upacara di pura bersama beberapa Legen dan tiga tandak berbusana jawa timuran dengan riasan secukupnya. Kulangkahkan kaki mengikuti mereka yang akhirnya membawaku ke salah satu sumber air di sudut desa. Didekat tandon air itulah kemudian para Legen menggelar tikar pandan dan mempersiapkan peralatan upacara Mayu Banyu, upacara sebagai perwujudan rasa syukur kepada sang pencipta atas berkah air yang telah menopang hidup masyarakat Wonokitri selama ini. Setelah para tandak menari dan menyanyikan beberapa tembang diiringi gending-gending jawa untuk menghormati para leluhur yang ikut membantu menjaga sumber-sumber air itu, rapal mantra dan doa permohonan perlindungan pun kembali dilantunkan sang Dukun Pandhita.

Wonokitri 12

Setelah melakukan upacara yang sama di beberapa sumber air, langkah kaki kembali membawaku ke Pura desa. Hanya sebentar kuberdiri di salah satu sudut sambil menghela nafas setelah menapaki anak tangga, sang Kalan telah kembali diangkat dan diarak keluar dari Pura. Meski nafas belum sepenuhnya teratur, kembali membawaku terhanyut dalam arus arak-arakan masyarakat Tengger menembus jalanan desa Wonokitri. Gelombang arak-arakan berhenti tepat di simpang empat tengah pasar tak jauh dari tempatku menyaksikan Ojung pertama kali. Sebagai bagian dari upacara Mayu Desa, di tempat inilah dilakukan penguburan sang Kalan. Perlahan satu demi satu setiap anggota tubuh dilepaskan dari rangka penopangnya, dan kemudian Mahisa yang dipercaya sebagai binatang berpribadian agung, kuat dan sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia itu dikuburkan sambil diiringi mantra dan doa yang dilantunkan para Legen.

Wonokitri 13

Tepat ketika acara penguburan usai, segelintir berita dibisikkan salah seorang teman bila saat ini terdapat rombongan lain yang ternyata secara bersamaan telah berangkat menuju jurang sari untuk melaksanakan ritual Mayu Bumi. Tak ingin kehilangan puncak prosesi yang runtutan sangat panjang ini, sambil berlari, kuayunkan langkah menembus jalan-jalan kecil di sekitar pasar dan akhirnya membawaku ke jalanan beraspal. Tanpa mengurangi kecepatan, kaki terus berlari menelusuri ngarai-ngarai Kaldera Tengger menuju jurang di batas desa yang jaraknya lebih dari satu kilometer dari pusat desa. Nafas masih tersengal-sengal ketika kami tiba di jembatan diatas cekungan ngarai. Beruntung, ternyata pak Supayadi masih terlihat hanya duduk diam sementara beberapa Legen mempersiapkan seluruh banten dan gamelan untuk upacara Mayu Bumi, upacara puncak perhelatan Karo.
Lantunan tetembangan jawa dengan suara tinggi seorang Tandak mengawali perhelatan, membawa ratusan orang yang memenuhi jembatan jurang sari dalam selimut kesunyian. Untuk kesekian kalinya, pak Supayadi merapal rentetan panjang alunan mantra dan doa dalam bahasa Jawa Kawi diantara desau angin menampar dedaunan dan menyeret asap dupa bercampur pekat kabut kaldera Tengger. Setelah sekian lama dikekang kesunyian, mantra-mantra terakhir yang memenuhi setiap percikan membawa kami pada puncak upacara Mayu Bumi. Sesaji kepala kambing kurban yang dilabuh para Legen ke ngarai jurang sari menjadi pertanda, seluruh warga Tengger mengikutinya dengan melabuh seluruh ancak penuh berisi beragam Banten ke dasar jurang. Sebentuk pemberian sesaji permohonan kepada Sang Hyang Widhi Wasa dan para leluhur untuk selalu melindungi desa dan para penduduknya dari ancaman Sengkala atau bencana.

*   *   *

Matahari telah meninggalkan titik kulminasinya ketika kami mulai meninggalkan penginapan. Puncak upacara kemarin siang telah menutup seluruh perhelatan panjang yang hanya menyisakan geliat jual beli di pasar dan hiruk pikuk beberapa orang melepas rangka panggung tempat hiburan berlangsung. Hanya beberapa saat menunggu, seorang pria setengah baya mulai menghidupkan pick up milik wisma tempat kami menginap. Kendaraan yang sebentar lagi akan kami tumpangi hingga Pasuruan, kota terdekat sekaligus tempat kami nantinya akan melanjutkan perjalanan menuju Jogjakarta. Usai mengucapkan perpisahan singkat dan lompatan terakhir ke dalam bak terbuka pick up, geraman mesin menghamburkan asap tipis membawa kami meninggalkan desa tertinggi di wilayah Pasuruan, Desa Wonokitri.

Wonokitri 17